Rumah ini muram tapi meledak dalam tawa gelisah
Protes dan keluh kesah
Beriringan dengan suara air menerjang atap,
Tanah liat lemah
yang kering, lalu basah lagi.
Gelap. Seperti semua tanah,
gelap.
Biru pudar bernaung dibawahnya
Kata hujan,
"Jangan berpegang pada kata-kata."
Percayakah yang bernapas didalamnya?
Tidak.
Tanpa sadar dia menghirup dan menghembuskan
kata demi kata.
Meski tak semuanya nyata
Kalimat, frasa, kata
Pijakannya di setiap pagi
Di hari bernama Minggu
Pijakannya setiap waktu
Seperti angin pantai dan daun kelapa
Tak ada yang satu,
tak ada yang satu
Tombol-tombol hitam, nyeri.
Beban jemari
Bergunakah, aku. Aku, aku, aku
Kamu
Seribu detik berlalu, dan
Lenguhan pasir di ladang senja
berganti.
Merah sedelima
Sejuta kata membayang, seperti wayang
dibalik layar.
Tapi sunyi.
Melesak ke dalam rongga kosong
Di sini.
Rasanya bagai pasien di ruang dokter
Yang tak bisa menjelaskan di mana
atau bagaimana
sakitnya.
Hanya sakit.
Sangat sakit, dan sunyi.
Riuh kata. Dimana-mana
Langit ikut berdebat
Bipolar tapi anggun
Anggun dan bingung
Lagu siren yang melenakan.
Tapi di dalam, sunyi.
Sunyi melesak ke dalam rongga kosong,
memenuhinya dengan gema.
Di sini.
Di hati
Saat kata terbakar mereka tetap bermakna
Saat hati tersiksa mereka tetap percaya
Lebih dalam.
Lebih tragis, dalam sunyi.
Diatas kata-kata sunyi itulah
Dia berpijak.
Dia bernapas.
Dia belajar.
Yang indah tak harus bersuara
Tak harus megah dan berwarna
Tak harus sempurna
Landas pijakan tak harus kuat
Yang penting adalah,
bagaimana caranya,
dan bagaimana caramu berpijak.
c, b.e.w~
15 November 2013
No comments:
Post a Comment