ke jalan sempit dari batu
Yang ditinggalkan sang pionir, waktu
Ada dia yang menunggu
Dia, yang tertawa keras tapi hampa
Dia, yang ingin marah tapi tak bisa
Dia, yang ingin menjadi luar biasa
Dia, yang hanya ingin sama hebat, seperti yang lainnya
Dia, memandang bintang di angkasa
Berkilau putih, sedih, sendirian
Dia, lalu berpikir, "Kita sama."
"Punya teman, tapi merasa kesepian."
Dia, yang berkata, "Berjuanglah."
Tapi untuk dirinya sendiripun, bingung menentukan arah
Dia, yang berjalan dalam bayangan,
Bertanya-tanya "Siapa aku gerangan?"
Dia yang bersinar bagai lilin dalam gelap
Hampir mati, tapi ingin tetap hidup juga
Dia yang jarang tidur lelap
Karena tak tahu mana lagi yang mimpi ataupun nyata
Berkilau putih, sedih, sendirian
Dia, lalu berpikir, "Kita sama."
"Punya teman, tapi merasa kesepian."
Dia, yang berkata, "Berjuanglah."
Tapi untuk dirinya sendiripun, bingung menentukan arah
Dia, yang berjalan dalam bayangan,
Bertanya-tanya "Siapa aku gerangan?"
Dia yang bersinar bagai lilin dalam gelap
Hampir mati, tapi ingin tetap hidup juga
Dia yang jarang tidur lelap
Karena tak tahu mana lagi yang mimpi ataupun nyata
Tengoklah dia,
Melempar batu, menunggu
Dia murung tapi tertawa
Bisu tapi berlagu
Palsu
Begitu palsu
Pilu
Terlalu pilu
Dia, yang menghindar dari lampu sorot
Dia, yang merapat ke sudut ruangan
Dia, yang berdiri paling belakang
Dia, yang berusaha untuk membangun jalan,
kembali ke dunianya yang tanpa kepalsuan
Lima sentimeter itu berubah kelabu, kusam dan berdesir seperti musim dingin
Menjauh, menjauh, dan kabur seiring berjalannya waktu
Dia, yang sekarang bangkit dari duduknya dan mencari jawaban,
"Kapan musim semi itu datang?"
Lalu berlari, kembali ke jalan beraspal,
menyongsong cahaya...
No comments:
Post a Comment